Kisah ini terdapat dalam beberapa kitab, diantaranya Kitab Nurudzh-Dzholam, syarahan dari Kitab Aqidatul Awam karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Dan saya menuqilnya dari terjemahan kitab tersebut yang ditulis oleh Ust. H. Nailul Huda, M.Pd.I.

Bahwasannya, pada zaman dahulu alam semesta mengalami sebuah perdebatan dahsyat antara langit dan bumi. Keduanya saling menyombongkan dirinya masing-masing.

Bumi, : “Wahai langit, ketahuilah bahwa diriku lebih baik darimu. Di atas pundakku, terdapat peradaban manusia, makhluk sempurna ciptaan Allah. Kemudian Allah menghiasiku dengan hamparan samudera yang luas, sungai yang mengalir tiada henti, gunung yang menjulang tinggi, pepohonan, semuanya ada padaku.”

Langit, : “Hai bumi, akulah yang sebenarnya lebih baik darimu. Karena padaku terdapat matahari sebagai sumber energi bagimu, gugusan bintang bertebaran, bulan dan semua benda-benda luar angkasa ada padaku. Bahkan Kursyi dan Arsyi beserta surga juga terletak padaku.”

Bumi, : “Hai langit, aku mempunyai sesuatu yang tidak kau punya. Yaitu tanah haram yang di dalamnya terdapat rumah Allah (Baitullah). Setiap waktu, tak henti-hentinya para Nabi, Rasul dan kaum mu’minin dari penjuru dunia datang untuk berthawwaf dan beribadah di dalamnya.”

Langit, : “Baiklah, jika kau punya Baitullah, maka aku punya Baitul Ma’mur yang menjadi tempat thawwaf para Malaikat langit. Aku pun memiliki surga yang menjadi tempat bersemayamnya ruh para Nabi, Rasul dan orang-orang shalih.”

Bumi, : “Wahai langit, ketahuilah! Bahwa sesungguhnya padaku hidup seorang manusia terpuji. Dialah petinggi para Nabi dan penutup para Rasul, kekasih Rabb semesta alam, sebaik-baiknya manusia, Muhammad SAW. Di atas pundakkulah dia menjalankan syari’atnya, membawa rahmat bagi alam semesta.”

 

Mendengar ucapan bumi tersebut, langit bertekuk lutut, diam seribu Bahasa dan mengakui keunggulan bumi. Kemudian langit bermunajat kepada Allah SAW, “Ya Allah, Engkau Maha mengijabah segala do’a. Engkau lebih mengetahui apa yang terjadi padaku saat ini. Hamba mohon, tolong Engkau antarkan Nabi Muhammad SAW agar menghampiriku. Aku akan memuliakan tamu agung tersebut sebagaimana bumi memuliakannya.”

Allah SWT mengabulkan permohonan langit tersebut. Kemudian berfirman kepada Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, pergilah kau sekarang ke surga untuk mengambil seekor Buraq lalu turunlah ke bumi menjemput Muhammad untuk naik ke atas langit.”

Dengan kecepatan cahaya, Malaikat Jibril segera bergegas untuk memenuhi perintah Tuhannya. Dengan demikian, langit merasakan apa yang dirasakan oleh bumi, yakni dihadiri oleh sosok yang mulia, bagina Nabi besar Muhammad SAW.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here