“Kamu Yang Tak Lagi Dia”
…..
Sesampainya di lokasi, Arsil segera mencari Dokter Rifky. Namun, karena Rifky bukanlah dokter di tempat itu, kebetulan saat itu ia tengah tidak ada. Akhirnya ia mencari dokter lain yang memang menangani Khadijah. Setelah berjumpa, ia tanyakan sedetile mungkin apa yang telah terjadi. Ia pun menjadi paham dan memohon izin serta minta tolong agar ia diberi kesempatan untuk menyamar. Berpura-pura sebagai salah satu dokter di tempat itu. Karena Arsil adalah suami Khadijah, maka sang dokter pun memberi izin dengan syarat tidak melewati batas, jangan sampai membuat suatu hal apalagi kegaduhan yang dapat mengganggu ketenangan pikiran dan jiwa Khadijah dan pasien lainnya. Arsil menyanggupi persyaratan itu.
Tanpa membuang waktu, Arsil memasuki ruangan Khadijah.
Khadijah nampak melamun dengan pandangan kosong. Arsil mendekat. Khadijah sedikit meliriknya namun segera menghiraukan.
“Khadijah, kamu mengapa bengong? Sudah berdzikir?” tanya Arsil lembut
“Sudah.” Jawab Khadijah singkat
“Mmm… sudah tilawah?”
“Belum.”
“Saya bawa mushaf, kamu mau baca atau saya bacakan?”
“Bacakan.”
Arsil segera membuka mushaf dan membaca “Surah Muhammad”. Khadijah merasa ada kedamaian yang merasuki relung jiwa terdalamnya. Khadijah pun memandang Arsil sejenak dengan lekat.
“Kenapa?”
“Saya rindu seseorang, Dok.”
“Kalau boleh tahu, siapa?”
“Suami kedua saya.”
Seketika jantung Arsil berdebar kencang dan tampak terharu. Bersyukur.
“Tapi dia jahat!” ucap Khadijah kembali
Perasaan Arsil meremuk kembali tatkala mendengar susulan perkataan Khadijah barusan.
“Jahat kenapa?”
“Dia sudah membunuh suami pertama saya.”
“Kamu masih mencintai suami pertamamu?”
“Iya. Tapi sudah tidak.”
“Maksudnya?”
“Suami pertama saya pernah datang dalam mimpi, dia bilang saya harus menerima yang lain.”
“Terus?”
“Hati saya sudah mencintai suami kedua saya sebelum kita menikah. Tapi… saya masih kecewa dengannya. Karena suami pertama saya orang yang shaleh yang selalu membantu banyak orang. Setelah kepergiannya, banyak orang sakit terlantar.”
“Anda tidak ada keinginan untuk memaafkannya?”
“Ada.”
“Lantas?”
“Masih berat.”
“Boleh saya memberi saran?”
“Apa?”
“Terima dia datang kembali. Beri dia kesempatan untuk melanjutkan kebaikan suami pertamamu.”
“Memangnya bisa?”
“Apa yang tidak bisa bagi Allah?”
Khadijah terdiam dan menangis.
“Lho kok kamu menangis? Saya salah, kah? Maafkan saya…”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Suami kedua saya pergi. Entah kemana.”
“Kamu mau dia datang?”
Dengan menghapus air mata, Khadijah menganggukkan kepalanya.
“Sungguh? Kamu tidak akan marah kalau dia datang?”
“Tidak! Saya rindu, Dok!”
Arsil meneteskan air mata haru lalu bersujud syukur. Khadijah merasa heran.
“Dokter kenapa?”
“Tidak. Sekarang kamu perhatikan saya, ya.”
Khadijah pun kembali menganggukkan kepalanya kemudian memperhatikan. Arsil pun segra melepas apa yang ia kenakan sebagai sarana penyamar. Khadijah sangat terkejut dan segera mencium tangan Arsil. Dan Arsil pun menghapus air mata Khadijah, memeluk serta mencium keningnya.
“Maafkan saya, Khadijah.” Ucap Arsil
“Maafkan saya juga.”
“Kamu benar-benar mau membuka hati untuk seorang Muhammad Arsil Habibi?”
“Iya. Saya sudah benar-benar mencintaimu, Arsil. Bukan karena adanya jantung Kak Raihan…”
Tak lama, Dokter Rifky datang. Ia cukup terkejut dan ikut bahagia menyaksikan mereka berdua.
“Alhamdulillah…” ucap Dokter Rifky
“Dok,” panggil Arsil
“Iya?”
“Tolong bimbing saya agar menjadi dokter seperti Dokter dan Dokter Raihan.”
“Insyaallah. Tapi tentunya kamu harus kuliah kedokteran.”
“Tentu, Dok. Saya akan ambil S2 kedokteran.”
“Tapi basic kamu kan agama.” Ucap Khadijah
“Tidak apa-apa. Sama-sama mulia dan dapat mengabdi untuk umat.” Jawab Arsil lembut dan bijak
Bersambung…………………..