Part 5

-Satu tahun kemudian-

…..

Hari ini, jadwal Pak Kiyai mengisi beberapa pengajian di luar kota. Beliau hendak memilih dua orang santri untuk menemaninya. Saat pengajian akbar tiba, beliau mengumumkan hal tersebut dan yang terpilih adalah Kang Mufasir selaku ketua pengurus pendidikan dan Mufti.

Sebagian santri cukup terkejut akan pilihan kedua gurunya itu, namun apa boleh buat? Jika sang guru audah menentukan suatu hal, maka tidak ada satu pun yang berani menyanggah walau tidak singkron dengan hati.

Dengan polos dan santun Mufti bertanya, “Maaf Pak Kiyai, masih banyak yang lebih dewasa dan yang lebih pantas untuk menemani Pak Kiyai. Saya masih terbilang kecil dan baru satu tahun mondok.”

Sang Kiyai tersenyum lalu balik bertanya, “Kamu tidak bersedia?”

“Bersedia kok, tapi…”

“Yasudah kalau bersedia tidak usah banyak tanya dan usulan karena bagian dari hakikat ikhlas itu patuh.” Jawab Sang Kiyai sambil mulai berlalu

…..

(Sesampainya di salah satu lokasi)

Kehadiran Mufti menambah rasa sejuk di hati para jama’ah karena perangainya yang lugu, lisannya yang indah dan akhlaknya yang baik. Setiap jama’ah yang datang ia hormati dengan melempar senyum, bersalaman dan mengajak ngobrol jama’ah (yang baik-baik) bahkan ia ikut membantu panitia di situ. Hingga akhirnya para jama’ah menyukainya dan menyeganinya dengan memberikan bingkisan khusus untuknya bahkan ada beberapa yang memberinya amplop.

Mufasir pun sama, ia shalih. Hanya saja ia lebih mengerahkan tenaganya secara keseluruhan untuk gurunya. Ia tak sedikit pun berbaur dengan jama’ah, hanya sebatas salaman dan senyum biasa.

Setelah acara selesai dan mereka kembali ke kendaraan untuk menuju lokasi selanjutnya, para jama’ah berkata, “Pak Kiyai nanti kalau ke mari tolong ajak Mufti lagi…”

“Siap insya Allah…” jawab Sang Kiyai sambil tersenyum

(Di dalam mobil)

“Pak Kiyai, maaf…” ucap Mufti santun

“Ya?”

“Ini ada beberapa bingkisan dan amplop.”

“Kenapa kamu kasihkan ke saya?”

“Kan dari jama’ah Bapak…”

“Tapi itu hak kamu, hak saya sudah ada.”

“Tapi pak…”

“Mufti…”

“Mmmm baik pak, terima kasih banyak.”

…..

“Kak Mufasir?”

“Ya, Muf?”

“Ini kakak mau yang mana? Pilih aja ya…”

“Tidak usah, saya juga ada kok satu bungkus alhamdulillah…”

“Kurang gak, kak?”

“Enggak kok…”

…..

Dua jam kemudian sampailah di lokasi berikutnya. Kebetulan, di sana acara wisudawan santri wa santriyat pondok tahfidz. Melihat para wisuda melafadzkan ayat suci Al-Qur’an dengan begitu lancar dan fasih membuat Mufti iri dan tak terasa meneteskan air mata. Dalam hati ia pun berdo’a ingin demikian.

“Aamiin!” ucap salah seorang yang melintas dari samping menuju panggung, membuat Mufti terheran-heran. Ternyata beliau adalah pemilik pondok tersebut. Beliau memang cukup terkenal ilmu “kasyaf”nya. Ditambah memang beliau sangat alim dan shalih.

Usai acara wisuda, di atas panggung beliau mengumumkan sesuatu. “Siapa di antara para pengunjung yang masih mondok?”. Banyak yang mengangkat tangan termasuk Mufti.

“Siapa di antara para santri yang hadir berusia di bawah 15 tahun?”. Mufti dan 3 orang santri lainnya mengangkatkan tangan.

“Siapa di antara para santri yang hadir baru mondok satu tahun tapi sudah hafal dua kitab, apapun itu;?”.

Awalnya Mufti tidak ingin mengangkatkan tangannya karena takut hatinya belok ke arah riya’ atau ujub bahkan takabur. Namun gurunya menyenggol lengannya dan memberikan isyarat agar Mufti jujur untuk mengangkat tangannya. Mufti pun menuruti perintah gurunya.

“Alhamdulillah, saya.”

“Baik, silakn naik ke atas panggung.”

Mufti pun segera memenuhi. Dengan kerendahan hati ia naik lalu bersalaman kepada beliau (pemilik pondok itu).

“Siapa namamu?”

“Mufti, Kiyai.”

“Kamu hafal dua kitab? Apa saja? Tolong sebutkan.”

“Alhamdulillah baru Aj-Jurumiyyah dan Nadzhom Al-Maqsud.”

“Ada lagi?”

“Mmmm ada, tapi belum selesai.”

“Apa itu?”

“Imrithi”

“Berapa bait?”

“Baru 200 bait”

“Masyaallah dikit lagi berarti ya…”

“Insyaallah, mohon do’anya Kiyai..”

“Kalau saya mau tes kamu, siapkah?”

“Bismillah, insyaallah siap.”

… Mufti pun dites ketiga kitab itu secara acak dan 95% mampu menjawabnya dengan cepat dan tepat. Semua yang menyaksikan bertepuk tangan, kagum.”

“Baik, sebagai tanda apresiasi dari saya, tolong terima ini”

“Apa isi dari dus ini, Kiyai?”

“Buka saja.”

Ternyata isinya kupon uang senilai 5 juta dan Al-Qur’an hafalan serta sebuah sorban berwarna hijau matcha dengan sedikit motif tulisan arab (tentang nama-nama kota besar islam). Mufti meneteskan air mata dan bersujuf syukur.

Dari kejauhan, ada seorang putri dari Kiyai pemilik pondok tahfidz itu yang benar-benar merasa kagum. Namanya Hafsah, berusia 17 tahun. “Andai usianya di atasku…, astagfirullah.” Ia pun segera kembali masuk ke dalam rumah.

(BERSAMBUNG)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here